Dalam kitab “Baina Yadai Ramadlan” disebutkan, bahwa di bulan Sya’ban inilah, -tepatnya tahun ke dua hijriyah-, penentuan arah Qiblat itu ditetapkan. Dimana sebelumnya, selama tujuh belas bulan berada di Madinah, Nabi SAW ketika sholat menghadap Al-Quds (Baitul Maqdis di Palestina), tetapi kemudian Allah SWT mengabulkan keinginan hati Nabi SAW, sehingga menghadap Qiblatnya berpindah ke arah Ka’bah (Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah). Sebagaimana sebab turunnya surat al-Baqarah, ayat 144: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.
Itu di antara nilai sejarah yang ada di bulan Sya’ban. Berikut ini adalah pembicaraan berkenaan dengan bulan Sya’ban, serta fadlilah (keutaman)nya:
Bulan yang sangat digemari Nabi untuk berpuasa.
Diriwayatkan dari Aisyah RA, berkata; “Saya tidak melihat Rasulullah SAW berpuasa lengkap sebulan penuh kecuali di bulan Ramadlan. Dan saya tidak melihat yang banyak dipuasani Rasulullah SAW kecuali di bulan Sya’ban”. HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lainnya.
Shahabat Anas bin Malik RA juga meriwayatkan, bahwa “Rasulullah SAW itu puasanya sedang-sedang aja, antara puasa dan tidaknya secara berimbang, di sepanjang tahunnya. Namun, ketika masuk bulan Sya’ban beliau tampak kelihatan rajin dalam menekuni puasanya”. HR Imam Ahmad dan Thabrani.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar menjelaskan hadits yang disebutkan di atas, bahwa hampir hari-hari di bulan Sya’ban ini dipuasani oleh Rasulullah.[1]
Merangkaikannya dengan Ramadlan.
Dari Aisyah RA berkata bahwa; “Di antara bulan-bulan yang sangat dicintai Nabi dalam melakukan puasa adalah di bulan Sya’ban, lalu menyambungkannya dengan bulan Ramadlan”. HR. Abu Dawud.
Allah SWT telah memproklamirkan Pengampunan-Nya.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SWT bersabda; “Pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), Allah SWT akan mengumumkan kepada sekalian manusia, bahwa Ia akan mengampuni orang-orang yang mau beristighfar (minta ampunan-Nya), kecuali kepada orang-orang yang menyekutukan-Nya, juga orang-orang yang suka mengadu domba (menciptakan api permusuhan) terhadap saudara muslim”. HR. Al-Thabrani dan Ibnu Hibban.
Dalam riwayat lain dari Aisyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Malaikat Jibril telah datang kepadaku, seraya berkata (memberikan informasi): Malam ini adalah malam Nisfu Sya’ban. Dan pada malam ini pula Allah akan membebaskan hamba-hamba-Nya dari api neraka. Namun Allah SWT akan membiarkan enam kelompok manusia tetap dalam neraka, karena telah melakukan dosa-dosa besar, yaitu:
1.orang yang menyekutukannya (syirik),
2.orang yang suka mengadu domba (menciptakan api permusuhan) terhadap saudara muslim.
3.orang yang memutuskan tali shilaturrahmi (hubungan kekerabatan).
4.orang yang sombong, yang berjalan dengan penuh keangkuhan.
5.orang yang durhaka terhadap kedua orang tuanya.
6.orang yang kecanduan minuman keras”. HR. Baihaqy.
Amal Perbuatan manusia akan dilaporkan ke hadiran Allah SWT.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA berkata, “Wahai Rasulullah, saya lihat anda lebih bersemangat (lebih rajin) berpuasa di bulan Sya’ban ini, dibanding bulan-bulan lainnya. Mengapa (ada apa gerangan)?”. Nabi menjawab; “Karena Sya’ban ini bulan agung, yang banyak dilupakan orang. Padahal, di bulan inilah amal perbuatan manusia akan dinaikkan (dilaporkan) ke hadirat Allah. Kerena itu, saya ingin (lebih senang) bila di saat amalan-amalan itu diangkat (dihadirkan) kepada Allah, kondisi saya dalam keadaan puasa”. HR Nasa’i.[2]
Berkaitan dengan ini, para ulama menjelaskan akan perhatian dan begitu antusiasnya Nabi di bulan Sya’ban, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadlan. Diantaranya, bila digambarkan adalah sbb:
Perhatian dan sayang Nabi SAW terhadap isteri-isterinya.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa di antara hikmah (rahasia, mengapa) Rasulullah SAW memperbanyak puasanya di bulan Sya’ban adalah karena isteri-isterinya banyak yang menuntaskan tanggungan (menjalankan qadla puasa Ramadlan, karena berhalangan, haidl dan sebab-sebab lain) di bulan Sya’ban ini. Jadi, Nabi SAW tidak ingin terlalu merepotkan isteri-isterinya, kecuali menghormati dan bahkan menemani aktifitas ritual yang sedang dijalankan isteri-isterinya. Luar bisa, sikap dan cara Nabi SAW dalam memberikan semangat atau support terhadap isteri-isterinya.
Waktu yang sangat tepat untuk mengevaluasi diri.
Adalah pesan shahabat Umar RA, agar kita selalu berintropeksi terlebih dahulu. Beliau mengingatkan, “Hasibu Anfusakum Qabla An-Tuhasabu, Wa-Zinu A’malakum Qabla An-Tuzanu ‘Alaikum”. Makanya, alangkah baiknya bila kesempatan di bulan Sya’ban ini kita bisa mengevaluasi diri, bisa berintropeksi apa yang telah perbuat sepanjang tahun ini. Kita telah melalui dengan bagaimana, apa yang telah kita kerjakan, serta dengan aktifitas apa saja selama ini. Sudahkah kita mengindahkan antara hak dan kewajiban kita. Bukankah kita telah banyak alpa kepada Allah, ataupun khilaf kita kepada sesama manusia.
Terlalu banyak, -dan kita tidak pernah akan sanggup menghitung- kasih sayang, nikmat dan anugerah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya. Kita ini telah banyak dikaruniai kesehatan, ketenangan, rasa aman dan hidup nyaman. Namun, sering lengah terhadap kehadiran Allah SWT. Berapa banyak dosa yang telah kita perbuat. Apakah selama ini, kita telah menjalankan perintah-Nya dengan baik dan benar. Sadarkah, bahwa kita sering “bolang-bolong”, menyepelekan ibadah, menggampangkan sholat lima fardlu, dsb. Sudah sebanding/berimbangkah antara kenakalan dan ampunan yang kita harapkan. Apakah sudah diimbangi dengan ketundukan kita kepada-Nya. Dalam istilah Ustadz Nakip Pelu; “Repotnya, mengapa kita ini hanya selalu Nasta’iin (minta pertolongan, minta ini-itu, dst), tanpa diimbangi dengan Na’budu (beribadah yang baik dan benar)”. Mestinya, kita tahu diri dan malu ketika hanya “Nosto’an-Nasta’in” melulu, tanpa pernah mau meningkatkan “Na’bud”nya. Maka dari itu, pada bulan inilah sangat layak untuk merenungkan, apakah kita telah memenuhi wajiban kita sebagai hamba yang baik, dan pandai bersyukur?
Lalu, terhadap manusia dan sesama saudara muslim, apakah juga telah penuhi hak-haknya? Bukankah kita pernah menyakitinya, menaruh curiga terhadapnya, mengumpat dan menggunjingya, dst? Baik yang disengaja, ataupun tidak. Kesemuanya perlu dibersihkan, untuk menghadap Allah SWT dengan kondisi yang suci, sehingga kita bisa lebih dapat meraih Ramadlan yang berkwalitas.
Menjadikannya sebagai tahap persiapan mental (pemanasan).
Disamping itu, bulan Sya’ban juga sangat baik dijadikan sebagai tahap persiapan, sehingga ketika masuk bulan suci Ramadlan telah siap dan terbiasa untuk memaksimalkan sajian, fadlilah dan kemurahan Allah SWT, dan lebih meningkatkan kwalitasnya di bulan suci Ramadlan nantinya.
Karena itu, pada masa persiapan ini, kita mestinya –sebisa mungkin- mampu menghadirkan hati yang suci, lisan yang tidak henti-hentinya berdzikir, juga jiwa yang siap “berharap” pada ridla Allah SWT. Sehingga dengan persiapan yang cukup matang ini, -yang telah dimulai sejak di bulan Sya’ban, sebagaimana Nabi SAW dalam mempersiapkan dirinya- kita akan lebih bisa menjalani puasa ini dengan penuh berisi dan berkwalitas, dan nantinya kita bisa berharap lebih optimis untuk mendapatkan ridla-Nya. Bagaimana tidak, karena kita telah puasa dengan yang sebenar-benarnya. Puasa yang tidak hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, tetapi juga mampu mengendalikan godaan nafsu dan syahwat selama berpuasa.
Demikian saja, pengajian kita kali ini, dalam rangka untuk menyiapkan diri menyambut bulan suci Ramadlan 1426H. Semoga, dengan persiapan yang lebih matang ini, kwalitas puasa Ramadlan kita serta ibadah dan amal sholeh kita di bulan suci Ramdlan nanti akan terdapat peningkatan, baik kwantitas maupun kwalitasnya. Amien, Ya Rabbal ‘Alamin.
[2]- Disusun berdasarkan beberapa hadits yang termuat dalam kitab “Al-Targhib Wal-Tarhib”, Imam Mundziri, Juz 2, hlm. 116, Dar al-Fikr, tahun 1014H-1981M.
Adalah pesan shahabat Umar RA, agar kita selalu berintropeksi terlebih dahulu. Beliau mengingatkan, “”. Makanya, alangkah baiknya bila kesempatan di bulan Sya’ban ini kita bisa mengevaluasi diri, bisa berintropeksi apa yang telah perbuat sepanjang tahun ini. Kita telah melalui dengan bagaimana, apa yang telah kita kerjakan, serta dengan aktifitas apa saja selama ini. Sudahkah kita mengindahkan antara hak dan kewajiban kita. Bukankah kita telah banyak alpa kepada Allah, ataupun khilaf kita kepada sesama manusia. Terlalu banyak, -dan kita tidak pernah akan sanggup menghitung- kasih sayang, nikmat dan anugerah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya. Kita ini telah banyak dikaruniai kesehatan, ketenangan, rasa aman dan hidup nyaman. Namun, sering lengah terhadap kehadiran Allah SWT. Berapa banyak dosa yang telah kita perbuat. Apakah selama ini, kita telah menjalankan perintah-Nya dengan baik dan benar. Sadarkah, bahwa kita sering “bolang-bolong”, menyepelekan ibadah, menggampangkan sholat lima fardlu, dsb. Sudah sebanding/berimbangkah antara kenakalan dan ampunan yang kita harapkan. Apakah sudah diimbangi dengan ketundukan kita kepada-Nya. Dalam istilah Ustadz Nakip Pelu; “Repotnya, mengapa kita ini hanya selalu (minta pertolongan, minta ini-itu, dst), tanpa diimbangi dengan (beribadah yang baik dan benar)”. Mestinya, kita tahu diri dan malu ketika hanya “Nosto’an-Nasta’in” melulu, tanpa pernah mau meningkatkan “Na’bud”nya. Maka dari itu, pada bulan inilah sangat layak untuk merenungkan, apakah kita telah memenuhi wajiban kita sebagai hamba yang baik, dan pandai bersyukur?Lalu, terhadap manusia dan sesama saudara muslim, apakah juga telah penuhi hak-haknya? Bukankah kita pernah menyakitinya, menaruh curiga terhadapnya, mengumpat dan menggunjingya, dst? Baik yang disengaja, ataupun tidak. Kesemuanya perlu dibersihkan, untuk menghadap Allah SWT dengan kondisi yang suci, sehingga kita bisa lebih dapat meraih Ramadlan yang berkwalitas.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa di antara hikmah (rahasia, mengapa) Rasulullah SAW memperbanyak puasanya di bulan Sya’ban adalah karena isteri-isterinya banyak yang menuntaskan tanggungan (menjalankan puasa Ramadlan, karena berhalangan, haidl dan sebab-sebab lain) di bulan Sya’ban ini. Jadi, Nabi SAW tidak ingin terlalu merepotkan isteri-isterinya, kecuali menghormati dan bahkan menemani aktifitas ritual yang sedang dijalankan isteri-isterinya. Luar bisa, sikap dan cara Nabi SAW dalam memberikan semangat atau terhadap isteri-isterinya.Adalah pesan shahabat Umar RA, agar kita selalu berintropeksi terlebih dahulu. Beliau mengingatkan, “”. Makanya, alangkah baiknya bila kesempatan di bulan Sya’ban ini kita bisa mengevaluasi diri, bisa berintropeksi apa yang telah perbuat sepanjang tahun ini. Kita telah melalui dengan bagaimana, apa yang telah kita kerjakan, serta dengan aktifitas apa saja selama ini. Sudahkah kita mengindahkan antara hak dan kewajiban kita. Bukankah kita telah banyak alpa kepada Allah, ataupun khilaf kita kepada sesama manusia. Terlalu banyak, -dan kita tidak pernah akan sanggup menghitung- kasih sayang, nikmat dan anugerah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya. Kita ini telah banyak dikaruniai kesehatan, ketenangan, rasa aman dan hidup nyaman. Namun, sering lengah terhadap kehadiran Allah SWT. Berapa banyak dosa yang telah kita perbuat. Apakah selama ini, kita telah menjalankan perintah-Nya dengan baik dan benar. Sadarkah, bahwa kita sering “bolang-bolong”, menyepelekan ibadah, menggampangkan sholat lima fardlu, dsb. Sudah sebanding/berimbangkah antara kenakalan dan ampunan yang kita harapkan. Apakah sudah diimbangi dengan ketundukan kita kepada-Nya. Dalam istilah Ustadz Nakip Pelu; “Repotnya, mengapa kita ini hanya selalu (minta pertolongan, minta ini-itu, dst), tanpa diimbangi dengan (beribadah yang baik dan benar)”. Mestinya, kita tahu diri dan malu ketika hanya “Nosto’an-Nasta’in” melulu, tanpa pernah mau meningkatkan “Na’bud”nya. Maka dari itu, pada bulan inilah sangat layak untuk merenungkan, apakah kita telah memenuhi wajiban kita sebagai hamba yang baik, dan pandai bersyukur?Lalu, terhadap manusia dan sesama saudara muslim, apakah juga telah penuhi hak-haknya? Bukankah kita pernah menyakitinya, menaruh curiga terhadapnya, mengumpat dan menggunjingya, dst? Baik yang disengaja, ataupun tidak. Kesemuanya perlu dibersihkan, untuk menghadap Allah SWT dengan kondisi yang suci, sehingga kita bisa lebih dapat meraih Ramadlan yang berkwalitas.