Wara'


Wara’
﴿ الورع ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Karya: Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi
Terjemah : Muzaffar Sahidu
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2010 - 1431
﴿ الورع ﴾
« باللغة الإندونيسية »

تأليف: د.أمين بن عبد الله الشقاوي
ترجمة: مظفر شهيد
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2010 - 1431

Wara’

Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.
Amma Ba’du:
Di antara sifat terpuji yang dianjurkan dan diperintahkan oleh syara’ adalah bersikap wara’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”.
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya.
Pertama: sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir RA berkata: Aku telah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang masih samar yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang syubhat maka sungguh dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, sama seperti penggembala yang menggembala di sekitar perbatasan yang hampir saja memasuki ladang orang lain dan ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki batas-batas dan batasan-batasan Allah adalah segala perkara yang diharamkannya”.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’”.
Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”. Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun banyak orang yang memberikan fatwa kepadamu”.
Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36).
Allah SWT berfirman: يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat) dan apa yang
disembunyikan oleh hati. (QS. Gafir: 19)
Imam Ahmad bin Hambal berkata: Seorang lelaki yang berada pada suatu kaum lalu seorang wanita lewat dan pandangannya mengikuti langkah wanita tersebut”.
Dalam ash-shahihaini dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kata yang maknanya tidak dipikirkan oleh dirinya, akibatnya dia terjatuh ke dalam jurang neraka yang dalamnya lebih dari jarak antara timur dan barat”. . Arti sabda Rasulullah Muhammad SAW: (ما يتبين) adalah dia tidak memikirkan tentang kejelasan maknanya dan tidak pula merenungkannya apakah dia baik atau buruk.
Di dalam hadits riwayat Aisyah RA tentang berita bohong yang menimpa dirinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Zainab binti Jahsy RA dan dia berkata, “Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, dan diriku tidak mengetahui kecuali kebaikan”. Aisyah berkata: Dialah dari sekian istri-istri Nabi Muhammad SAW yang selalu menyaingiku maka Allahpun menjaga dirinya dengan sikap wara’.
Wuhaib bin Wurd berkata, “Seandainya engkau berada di dalam kelompok pasukan perang ini maka tidak ada yang memberikan manfaat apapun bagimu sehingga engkau meneliti apa-apa yang masuk ke dalam perutmu apakah dia halal atau haram.
Nabi Muhammad SAW adalah tauladan dalam bersikap wara’, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Anas bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya”. Sebab sedeqah tersebut diharamkan bagi diri beliau dan keluarga beliau Muhammad SAW. Dan para shahabat mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW ini, mengikuti sunnah beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Aisyah RA berkata, “Abu Bakr memiliki seorang pembantu yang yang selalu memberikannya makanan dari pajak, dan pada suatu hari pembantunya datang memberinya makanan dan Abu Bakr pun memakannya, lalu pembantunya berkata kepadanya: Tahukan anda apakah ini?. Maka Abu Bakr bertanya: Dari manakah asal makanan ini?. Pembantunya berkata: Aku, di masa jahiliyah telah meramal seseorang, padahal diriku bukan peramal yang baik, hanya saja aku telah menipunya, lalu dia memberikan upah bagiku dengan makanan ini, dan makanan yang kamu makan ini adalah bagian darinya, maka Abu Bakr pun memasukkan tangannya ke dalam mulutnya sehingga dia memuntahkan apa-apa yang ada di dalam perutnya”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Nafi’, yaitu dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab berkata, “Bahwa telah ditetapkan bagi kaum muhajirin generasi pertama empat ribu, dan ditetapkan bagi Ibnu Umar tiga ribu lima ratus. Lalu dia ditanya: dia termasuk orang muhajirin lalu mengapa engkau mengurangi bagiannya dari empat ribu?. Maka Umar menjawab: Sesungguhnya dia telah dihijrahkan oleh bapaknya, dia berkata: Bukan seperti orang yang hijrah dengan sendirinya”.
Umar RA berkata, “Kami meninggalkan sembilan persepuluh yang halal karena khawatir terhadap riba”.
Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”. Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin untuk menunaikan tugas menyelesaikan perkara kaum muslimin, lalu jika dia telah selesai maka diapun memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya sendiri. Suatu hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham untuk membeli anggur?. Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang. Dia bertanya kembali: Apakah engkau memiliki satu keping uang?. Istrinya menjawab: Aku tidak punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang satu dirham saja?. Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahannam”.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak, sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.
Kedua: Samar dalam keadaan. Perkara ini tampak pada hukum tentang daging ayam yang diimpor dari luar, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa daging itu halal sebab termasuk dalam kategori makanan ahli kitab. Allah SWT berfirman:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
Makanan )sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, (QS. Al-Maidah: 5)
Dan sungguh telah jelas terbukti bagi sebagian penuntut ilmu bahwa banyak daging ayam impor disembelih dengan menggunakan strum listrik atau cara lain yang tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang syar’i. Maka perkara ini termasuk perkara yang samar dari sisi keadaan sehingga orang yang wara’ seharusnya meninggalkannya.
Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.
-----
Sumber:
Majmu’ Fatawa: 10/615
Syarah riyadhus Shalihin: 6/168
Shahih Muslim: no: 1599 dan shahih Muslim: no; 52
Kasyful Astar: 1/85 no: 139 dan dishahihkan oleh Albani pada kitab shahihul Jami’ no: 4214
An-Nasa’i: no: 5711
Shahih Muslim: no: 2553
Shahih Muslim: 4/227
Al-Wara’, karangan Al-Marwazi, halaman: 111
Shahih Muslim: no: 988 dan shahih Bukhari: no: 6477
Shahih Bukhari: no: 4750 dan Shahih Muslim: no: 2770
Al-Bukhari: no: 2432 dan Muslim: 1070
Al-Bukhari: no: 3842
Al-Bukhari: 3912
Mushannaf Abdur Razzaq: 8/152 no: 14683
Lihat kitab: Al-Ashum Al-Mukhatalitah, karangan syekh shaleh Al-Ushaimi
Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata di dalam kitab: Majma’uz Zawa’id: 10/296 diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam kategori shahih. Dan AlBani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim


Peristiwa Penting dan Keutamaan Bulan Muharam

Peristiwa-peristiwa penting:

1 Muharam - Khalifah Umar Al-Khattab membuat penetapan bulan dalam Hijrah.
10 Muharam - Dinamakan juga hari 'Asyura'. Pada hari itu banyak terjadi peristiwa penting yang mencerminkan kegemilangan bagi perjuangan yang gigih dan tabah bagi menegakkan keadilah dan kebenaran.

Pada 10 Muharam juga telah berlaku:
1. Nabi Adam bertaubat kepada Allah.
2. Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya sesudah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa.
6. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
7. Penglihatan Nabi Yaakob yang kabur dipulihkkan Allah.
8. Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritainya.
9. Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
10. Laut Merah terbelah dua untuk menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari tentera Firaun.
11. Kesalahan Nabi Daud diampuni Allah.
12. Nabi Sulaiman dikurniakan Allah kerajaan yang besar.
13. Hari pertama Allah menciptakan alam.
14. Hari Pertama Allah menurunkan rahmat.
15. Hari pertama Allah menurunkan hujan.
16. Allah menjadikan 'Arasy.
17. Allah menjadikan Luh Mahfuz.
18. Allah menjadikan alam.
19. Allah menjadikan Malaikat Jibril.
20. Nabi Isa diangkat ke langit.


Keutamaan Muharam

Muharam juga memiliki banyak keutamaan. Salah satunya adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw. , "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang salat yang paling afdal sesudah salat fardu adalah salat malam." (HR Muslim).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah 'aasyuura. Aisyah--semoga Allah meridainya--pernah ditanya tentang puasa 'aasyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).

Rukun-Rukun Shalat

Rukun-Rukun Shalat

Rukun-rukun shalat ada empat belas:
1. Berdiri bagi yg mampu
2. Takbiiratul-Ihraam
3.Membaca Al-Fatihah
4. Ruku’
5. I’tidal setelah ruku’
6. Sujud dgn anggota tubuh yg tujuh
7. Bangkit darinya
8. Duduk di antara dua sujud
9. Thuma’ninah dalam semua amalan
10. Tertib rukun-rukunnya
11. Tasyahhud Akhir
12. Duduk utk Tahiyyat Akhir
13. Shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
14. Salam dua kali.

Penjelasan Empat Belas Rukun Shalat
1. Berdiri tegak bagia yang mampu
pada shalat fardhu bagi yg mampuDalilnya firman Allah ‘azza wa jalla Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha serta berdirilah utk Allah ‘azza wa jalla dgn khusyu’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Shalatlah dgn berdiri..

2. Takbiiratul-ihraam yaitu ucapan: ‘Allahu Akbar’ tidak boleh dgn ucapan lainDalilnya hadits Pembukaan shalat dgn takbir dan penutupnya dgn salam. Juga hadits tentang orang yg salah shalatnya Jika kamu telah berdiri utk shalat maka bertakbirlah.

3. Membaca Al-Fatihah: Membaca Al-Fatihah adl rukun pada tiap raka’at sebagaimana dalam haditsلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. Tidak ada shalat bagi orang yg tidak membaca Al-Fatihah.

4. Ruku

5. I’tidal setelah ruku’

6. Sujud dgn tujuh anggota tubuh

7. Bangkit darinya

8. Duduk di antara dua sujud
Dalil dari rukun-rukun ini adl firman Allah ‘azza wa jalla Wahai orang-orang yg beriman ruku’lah dan sujudlah. Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Saya telah diperintahkan utk sujud dgn tujuh sendi.

9. Thuma’ninah dalam semua amalan

10. Tertib antara tiap rukun
Dalil rukun-rukun ini adl hadits musii` Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk mesjid lalu seseorang masuk dan melakukan shalat lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum shalat ! .. Orang itu melakukan lagi seperti shalatnya yg tadi lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu!t Karena kamu belum shalat ! .. sampai ia melakukannya tiga kali lalu ia berkata: ‘Demi Dzat yg telah mengutusmu dgn kebenaran sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saya tidak sanggup melakukan yg lbh baik dari ini maka ajarilah saya!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Jika kamu berdiri hendak melakukan shalat takbirlah baca apa yg mudah dari Al-Qur`an kemudian ruku’lah hingga kamu tenang dalam ruku’ lalu bangkit hingga kamu tegak berdiri sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud bangkitlah hingga kamu tenang dalam duduk lalu lakukanlah hal itu pada semua shalatmu. {HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al- Hakim}

11. Tasyahhud Akhir: Tasyahhud akhir termasuk rukun shalat sesuai hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata Tadinya sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami kami mengucapkan: ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih assalaamu ‘alaa Jibriil wa Miikaa`iil {Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril ‘alaihis salam dan Mikail ‘alaihis salam}’ maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Jangan kalian mengatakan ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih {Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya}’ sebab sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla Dialah As-Salam {Dzat Yang Memberi Keselamatan} akan tetapi katakanlah ‘Segala penghormatan bagi Allah shalawat dan kebaikan’ .. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hadits keseluruhannya.
Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab yg membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yg lainnya.

12. Duduk Tasyahhud Akhir: Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Jika seseorang dari kalian duduk dalam shalat maka hendaklah ia mengucapkan At-Tahiyyat.

13. Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Jika seseorang dari kalian shalat.. lalu hendaklah ia bershalawat atas Nabi. Pada lafazh yg lain Hendaklah ia bershalawat atas Nabi lalu berdoa. {HR. Ahmad dan Abu Dawud}

14. Dua Kali Salam: Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .. dan penutupnya ialah salam. Inilah penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun shalat yg harus diperhatikan dan dipenuhi dalam tiap melakukan shalat krn kalau meninggalkan salah satu rukun shalat baik dengan sengaja atau pun lupa maka shalatnya batal harus diulang dari awal.
Wallaahu A’lam.

Syarat-Syarat Shalat

Asy-Syaikh Ibnu Baaz dgn susunan Muhammad bin ‘Ali Al-Arfaj.
Syarat-Syarat ShalatShalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat rukun-rukun dan hal-hal yg wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yg akan membatalkannya.

Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:
1. Islam
2. Berakal
3. Tamyiz {dapat membedakan antara yg baik dan yg buruk}
4. Menghilangkan hadats
5. Menghilangkan najis .
6. Menutup aurat .
7. Masuknya waktu .
8. Menghadap kiblat
9. Niat.

Secara bahasa syuruuth adl bentuk jamak dari kata syarth yg berarti alamat.Sedangkan menurut istilah adl apa-apa yg ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan {tidak sah} tetapi adanya tidak mengharuskan ada . Contohnya jika tidak ada thaharah maka shalat tidak ada tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat {belum memastikan sahnya shalat krn masih harus memenuhi syarat-syarat yang lainnya rukun-rukunnya hal-hal yg wajibnya dan menghindari hal-hal yg membatalkannya pent.}. Adapun yg dimaksud dgn syarat-syarat shalat di sini ialah syarat- syarat sahnya shalat tersebut.

Penjelasan Sembilan Syarat Sahnya Shalat
1. Islam Lawannya adalah kafir.
Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak mengamalkan apa saja dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik utk memakmurkan masjid-masjid Allah padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran.
Mereka itu amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal. {At- Taubah:17}Dan firman Allah ‘azza wa jalla Dan Kami hadapi segala amal yg mereka kerjakan lalu Kami jadikan amal itu debu yg berterbangan. Shalat tidak akan diterima selain dari seorang muslim dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yg rugi.

2. Berakal Lawannya adl gila. Orang gila terangkat darinya pena hingga dia sadar dalilnya sabda Rasulullahرُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ. Diangkat pena dari tiga orang: 1. Orang tidur hingga dia bangun 2. Orang gila hingga dia sadar 3. Anak-anak sampai ia baligh.

3. Tamyiz Yaitu anak-anak yg sudah dapat membedakan antara yg baik dan yg buruk dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka diperintahkan utk melaksanakan shalat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamمُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ. Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka di tempat- tempat tidur mereka masing-masing.


4. Menghilangkan Hadats, Hadats ada dua: hadats akbar seperti janabat dan haidh dihilangkan dgn mandi dan hadats ashghar dihilangkan dgn wudhu` sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci. Dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah tidak akan menerima shalat orang yg berhadats hingga dia berwudlu`.

5. Menghilangkan Najis, Menghilangkan najis dari tiga hal: badan pakaian dan tanah dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla Dan pakaianmu maka sucikanlah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْه ُ. Bersucilah dari kencing sebab kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya.

6. Menutup Aurat
Menutupnya dgn apa yg tidak menampakkan kulit berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah tidak akan menerima shalat wanita yg telah haidh kecuali dgn khimar {pakaian yg menutup seluruh tubuh seperti mukenah}. Para ulama sepakat atas batalnya orang yg shalat dalam keadaan terbuka auratnya padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita ialah dari pusar hingga ke lutut sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat selain wajahnya selama tidak ada ajnaby yg melihatnya namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya menutup wajah juga.Di antara yg menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa` radhiyallahu ‘anhu Kancinglah ia walau dgn duri. Dan firman Allah ‘azza wa jalla Wahai anak cucu Adam pakailah pakaian kalian yg indah di tiap masjid. Yakni tatkala shalat.

7. Masuk Waktu
Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril ‘alaihis salam bahwa dia mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu lalu dia berkata: Wahai Muhammad shalat itu antara dua waktu ini. Dan firman Allah ‘azza wa jalla Sesungguhnya shalat itu adl kewajiban yg ditentukan waktunya atas orang-orang yg beriman. Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yg telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu itu adl firman Allah ‘azza wa jalla Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam dan Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan {oleh malaikat}.

8. Menghadap Kiblat
Dalilnya firman Allah Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yg kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram dan di mana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya.

9. Niat Tempat niat ialah di dalam hati sedangkan melafazhkannya adl bid’ah {karena tidak ada dalilnya}.
Dalil wajibnya niat adl hadits yg masyhur Sesungguhnya amal-amal itu didasari oleh niat dan sesungguhnya tiap orang akan diberi sesuai niatnya. {Muttafaqun ‘alaih dari ‘Umar Ibnul Khaththab}.

Intermeso: Ulama dikita banyak pendapat tentang Niat:
- Ada yang melafalkannya, (Talafud sunnat),
- Ada yang merahasiahkannya (Sirri)
Untuk kita jangan ikut-ikutan rame, yang penting sholat khusu ( berniat karena Alloh melaksanakan tuntunan Syarat dan Rukun dengan baik,
Antara Talafud atau Sirri sama-sama ada dalilnya, yang mesti diperhatikan shalat kita jangan karena yang lain selain Alloh SWT.

Shalat Fardu

Shalat Fardhu
Pada postingan kali ini akan dijelaskan tata cara shalat, sebagai contoh, penjelasan dibawah ini adalah tata cara shalat fardhu Subuh.

Cara Shalat Fardhu
Sebelum kita melakukan ibadah shalat, diwajibkan berwudhu terlebih dahulu
Berdiri menghadap ke Kiblat

lalu membaca niat shalat (cukup diucapkan dalam hati saja). sebagai contoh, kita berniat untuk shalat subuh :

Ushalli fardhas shubhi rak’ataini mustaqbilal qiblati adaa-an (ma’muuman/imaaman) lillahi ta’aala

Sesuaikan niat shalat untuk lainnya
Bertakbirul ikhram dengan membaca “Allaahu Akbar” dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu atau telinga dan tatapan mata melihat ke tempat sujud.

Letakkan tangan kanan diatas tangan kiri

Membaca doa Istiftah

Allahumma baa’id baini wa baina khotoyaaya kama baa’adta bainal masyriqi wal maghrib.
Allahumma naqqinii min khotooyaaya kamaa yunaqqos tsaubul abyadhu minaddanaasi.
Allahummaghsilnii min khotooyaaya bilmaa i was tsalji wal barodi

atau membaca bacaan istiftah lainnya
Membaca surat Al Fatihah (bacalah basmallah dengan lirih)

Bismillaahirrahmaanirrahiim
alhamdulillaahirabbil’aalamiin
arrahmaanirrahiim
maalikiyawmiddiin
iyyaakana’buduwa-iyyaakanasta’iin
ihdinaashshiraathalmustaqiim
shiraathalladziinaan’amta’alayhim
ghayrilmaghdhuubi’alayhim walaadhdhaalliin
Amiiin

Dilanjutkan dengan membaca surat pendek atau membaca ayat-ayat yg ada di Al-Qur’an,
dan dibaca pada raka’at pertama dan kedua saja.
Contoh : surat Al Ma’un

ara-aytalladzii yukadzdzibu biddiin
fadzaalikalladzii yadu”u lyatiim
walaa yahudhdhu ‘alaa tha’aami lmiskiin
fawaylun lilmushalliin
alladziina hum ‘an shalaatihim saahuun
alladziina hum yuraauun
wayamna’uuna lmaa’uun

Sebelum ruku, disunnahkan untuk ber-thuma’niinah (berdiam sejenak) terlebih dahulu.
Takbir (Allaahu Akbar) dengan mengangkat tangan sejajar bahu atau telinga (gambar 04) dan dilanjutkan dengan Ruku (gambar 05) dengan posisi telapak tangan bertumpu pada dengkul seperti terlihat pada inset.
Setelah thuma’niina pada saat ruku, lalu kita membaca doa ruku :

Subhaana robbiyal adziimu : 3x ,
atau membaca doa ruku lainnya
Bangkit dari ruku (I’tidal) dengan mengangkat kedua tangan sejajar bahu atau telinga sambil mengucapkan Allaahu Akbar, setelah berdiri tegak, letakkan tangan disamping lalu kita ucapkan:

Rabbanaa walakal hamdu ,
atau bacaan I’tidal lainnya ..
Dilanjutkan dengan sujud sambil bertakbir.

Posisi sujud :
Kedua telapak tangan dibuka, tidak mengepal dan diletakkan sejajar dengan bahu atau telingan, kedua sikut diangkat, dijauhkan dari lambung kiri dan kanan (kecuali ketika shlat berjama’ah, kedua sikut dirapatkan ke sisi lambung). Dan jari jemari tangan dirapatkan dan menghadap kiblat, dan posisi tumit kaki dirapatkan.
Bersujudlah dengan thuma’niinah dan lakukanlah dengan menempelkan tujuh anggota badan: kening/dahi; hidung; kedua tangan; kedua lutut dan jari jemari kedua kaki kita
pada saat sujud membaca doa :

Subhaana robbiyal a’laa : 3x ,
atau membaca doa sujud lainnya …
Bangkit dari sujud sambil bertakbir lalu duduk Iftirasy (duduk diantara dua sujud), yaitu duduk dengan bertumpu pada telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan, seperti pada gambar 10 b dan posisi tangan diletakkan diatas paha seperti yang terlihat pada gambar 10 a
pada posisi ini bacalah doa :


Robbighfirlii warhamnii, warfa’nii wahdinii, wa ‘aafinii warzuknii ,
atau bacaan lainnya …
Lalu sujud lagi seperti gerakan pada gambar 09.
Setelah sujud bangkitlah sambil bertakbir (duduk sejenak) dengan posisi tangan mengepal / dikepalkan atau dengan membukanya seperti terlihat pada gambar dibawah ini

(Pada saat kita sudah berdiri lagi, berarti kita sudah memasuki raka’at kedua)
Pada raka’at kedua kita melakukan berdiri dengan bersedekat seperti pada gambar 03,
lalu kita membaca Surat Al Fatihah, di lanjutkan dengan membaca surat pendek atau ayat-ayat Al Qur’an.
Kemudian Ruku (gerakan no. 11), I’tidal (gerakan no. 12), Sujud (gerakan no. 13), Duduk Iftirasy (gerakan no. 14), Sujud (gerakan no. 13).
Setelah sujud kedua pada raka’at kedua ini kita melanjutkan dengan gerakan Tasyahud Awal dengan posisi duduk seperti pada gambar 10 b. Namun dengan sedikit perbedaan, yaitu tangan kanan menggenggam jari tengah, manis dan kelingking, lalu jari telunjuk ditegakkan (boleh sambil jari telunjuk digerak-gerakkan).
Pada saat ini, pandangan mata harus tertuju pada telunjuk.


Pada Tasyahud awal kita membaca :
attahiyaatu lillah, wassholawaatu watthoyyibaat,
assalaamu alaikum ayyuhannabiyyu warohmatullahi wabarokaatuh,
assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ’ibaadillaahis sholihiin,
asyhadu al laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuuluhu
Bila kita melakukan shalat dengan 2(dua) raka’at, maka kita teruskan dengan membaca Tasyahud Akhir.
Namun bila kita melakukan shalat yang raka’atnya lebih dari 2, maka Tasyahud Akhir tidak dibaca.
Melainkan dilanjutkan dengan berdiri (dengan mengucapkan takbir) dan teruskan raka’at ketiga dan seterusnya.
Pada rakaa’at ketiga dan keempat, setelah kita membaca surat Al Fatihah, langsung dilanjutkan dengan ruku (tanpa membaca surat pendek)
Adapun posisi duduk Tasyahud Akhir adalah duduk tawarruk yaitu posisi telapak kaki kanan di tegakkan, kaki kiri diletakkan dibawah kaki kanan dan pantat duduk di lantai.

Pada posisi tasyahud akhir, kita membaca doa seperti pada kita duduk tasyahud awal,
lalu diteruskan dengan membaca shalawat yang bacaannya :
allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad,
kamaa shollaita ’alaa Ibroohiim wa ‘alaa aali Ibroohiim innaka hamiidun majiid,
wabaarik ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad,
kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa’alaa aali Ibroohiim innaka hamiidun majiid
Lalu diteruskan dengan membaca doa :
Allahumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannami wamin ‘adzaabil qobri
wamin fitnatil mahyaa walmamaati
wa min syarri fitnatil masiihiddajjaal
atau membaca doa lainnya
Setelah itu kita menoleh ke kanan sambil mengucapkan salam

“Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu”,dan menoleh ke kiri sambil mengucapkan salam.
Selesai.

Sholat

Shalat
Shalat dalam bahasa Arab yang memiliki arti, do’a. Sedangkan menurut istilah shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Hukum shalat dapat dikategorisasikan sebagai berikut :

1. Fardhu, Shalat fardhu ialah shalat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Shalat Fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu :

- Fardhu ‘Ain : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti shalat lima waktu, dan shalat jumat(Fardhu ‘Ain untuk pria).

- Fardhu Kifayah : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan. Seperti shalat jenazah.

Nafilah (shalat sunnat), Shalat Nafilah adalah shalat-shalat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Shalat nafilah terbagi lagi menjadi dua, yaitu

- Nafil Muakkad adalah shalat sunnat yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti shalat dua hari raya, shalat sunnat witir dan shalat sunnatthawaf.

- Nafil Ghairu Muakkad adalah shalat sunnat yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti shalat sunnat Rawatib dan shalat sunnat yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti shalat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

2. Rukun Shalat ada 13 perkara :
1. Niat
2. Berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ikhram
4. Membaca Al-fatihah
5. Ruku’
6. I’tidal
7. Sujud
8. Duduk diantara dua salam
9. Duduk pada tasyahud akhir
10. Membaca tasyahud akhir
11. Membaca shalawat Nabi
12. Salam
13. Tertib

3. Macam-macam Shalat Sunnah :

- Shalat Dhuha
Shalat sunah yang dikerjakan pada pagi hari, waktunya dimulai ketika matahari tampak kurang lebih setinggi tombak dan berakhir sampai tergelincir matahari (waktu zuhur). Shalat Dhuha lebih dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah. Jumlah rakaat shalat dhuha adalah sekurang-kurangnya dua rakaat, sebanyak-banyaknya duabelas rakaat, ada juga yang menyatakan enambelas rakaat.

- Shalat Istisqa
Shalat sunah yang bertujuan untuk meminta hujan. Biasanya dilaksanakan ketika terjadi kemarau panjang sehingga mata air- mata air menjadi kering, tumbuh-tumbuhan mati, manusia dan hewan kekurangan makanan dan air.
Bila sudah masuk dalam kondisi ini, dianjurkan pemimpin masyarakat setempat atau ulama mengajak masyarakat untuk bertobat dan berdoa.

- Shalat Khusuf
Shalat sunah yang dilakukan karena terjadi gerhana bulan. Waktu shalat khusuf adalah sejak awal gerhana sampai akhir atau tertutupnya bulan tsb.

- Shalat Istikharah
Shalat sunah dua rakaat yang diiringi dengan doa khusus, dikerjakan untuk memohon petunjuk yang baik kepada Allah SWT sehubungan dengan urusan yang masih diragukan untuk diputuskan akan dikerjakan atau tidak. Urusan yang dimaksud bisa berupa urusan pribadi ataupun yang terkait dengan kepentingan umum.
Petunjuk dari Allah SWT ini biasanya akan diperoleh melalui mimpi atau kemantapan hati untuk mengambil keputusan.

- Shalat Tahajud
Shalat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, meskipun hanya sejenak, kemudian diiringi dengan doa khusus.
Shalat tahajud boleh dilakukan di awal, tengah, atau di akhir malam, asalkan sesudah tidur, namun melakukannya pada sepertiga malam yang terakhir adalah lebih baik, karena pada saat itu terdapat waktu doa para hamba dikabulkan oleh Allah SWT.

- Shalat Gaib
Shalat yang dilakukan atas seseorang yang meninggal dunia di suatu tempat atau negeri, baik jauh ataupun dekat dari tempat orang yang melaksanakan shalat, dan mayatnya tidak ada di tempat (di hadapan) orang-orang yang menshalatkan.

- Shalat Tahiyatul Masjid
Shalat yang dilakukan sebagai penghormatan terhadap masjid, dilakukan oleh orang yang masuk ke dalam mesjid sebelum ia duduk.

Tentang Fiqih dan Lainnya

PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.

Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:
a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)
b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS-SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:

apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:

Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Fiqih

Fiqih
Fiqih Istilah

Fiqih atau fiqh (bahasa Arab: ﻓﻘﻪ ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

Fiqih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Fiqih Etimologi
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.[1]

Sejarah Fiqih
Masa Nabi Muhammad saw

Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan [2], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.

Masa Awal Pertumbuhan Fiqih
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.

Lain-lain
Di Indonesia, Fiqih, diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan non formal seperti Pondok Pesantren dan di lembaga pendidikan formal seperti di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.